12
Kepalaku terasa sakit. ‘Pasti karena tadi !’ batinku. Aku memegang rambutku yang terasa
lebih tipis. Aku ingin bangun dan memakai sepatuku. Jam menunjukan pukul 12
siang,berarti yang lainnya belum pulang. Pengurus UKS mengizinkanku keluar
karena keadaanku sudah membaik. Aku sempat melirik lengan yang masih terasa
nyeri dan seragamku yang robek serta ada noda darah yang mengering di
seritarnya.
Aku mengintip kearah
jendela dan melihat sekumpulan siswi berkumpul sambil membicarakan sesuatu. Ini
memang masih jam istirahat,jadi keadaan di luar memang agak ramai. Aku melihat
kearah yang sama dengan mereka. Mataku membulat sempurna rasanya ketika aku
melihat Jerry yang sedang bicara dengan pak Andi. Aku keluar dari UKS sambil
memegangi lenganku yang di perban. Jerry dan pak Andi menoleh kearahku.
Kemudian mata jerry melihat luka di lengan kananku.
“Gimana Va ? udah
mendingan ?” tanya pak Andy.
Aku mengangguk. Jerry
kembali melayangkan pandangannya ke kepalaku. Rupanya dia menyadari rambutku
yang lebih sedikit dari sebelummnya.
“Avaaa !!” teriak
seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan dua orang aneh berlarian
kearah ku. Siapa lagi kalau bukan Alvin dan Fraya. Di belakang mereka,aku
melihat Dave yang ku ketahui adalah pacarnya Fraya sedang berjalan mengikutinya
dan juga membawa tas miliku. Mungkin dia takut kalau pacarnya terlibat dalam
masalah seperti tadi pagi. Tidak hanya mereka bertiga,Yuki pun ada dibelakang
mereka dan berjalan di sebelah Dave.
Alvin menghambur sambil
merentangkan tangannya,namun kerah bajunya di tarik oleh Fraya. “Gausah lebay
Vin,sono lu ! ngeribetin aja,hahaha” ejek Fraya. Alvin cemberut mengengar
ejekannya. “Nah,kayaknya korbannya udah bisa jalan” ledeknya kepada ku. Kemudian
Fraya melambaikan tangan pada seseorang di belakangku. “Hai,ehh siapa namanya…
oh iya,Jerry. Hahaha !”
Jerry tersenyum dan
beberapa siswi yang berkumpul tadi sepertinya berteriak. Alvin memberikan
sinyal kepadaku seperti bertanya siapa pria yang di teriaki siswi – siswi tadi.
Aku tidak menjawabnya. Aku mengalihkan pandangan ke pak Andy dan Jerry.
Dave memberikan tasku
kepada Jerry. Sepertinya pak Andy telah memberikan penjelasan kepada Jerry
tentang apa yang terjadi tadi berdasarkan kesaksian kami bertiga. Pak Andi
pergi ke ruangannya setelah pamit kepada kami.
***~***~***~***
Jerry Sandi
Melihatnya seperti
itu,rasanya hatiku tersayat. Aku yang seharusnya bisa melindunginya. Aku tahu
masa lalunya. Akulah anak laki – laki itu. Akulah yang sering melihatnya di
taman belakang rumahnya. Aku tahu keluarganya. Karena itu aku mau bersamanya.
Aku jatuh cinta padanya sejak lama. Bahkan akupun sering bolos dari kantorku
hanya untuk mengawasimu tanpa diminta siapapun. Tapi sepertinya dia benar –
benar melupakanku.
‘Sedang
apa dia sendirian disana ?’ batinku. Sepertinya dia lebih muda dariku. Aku ingin
mengajaknya bicara. Namun ketika aku menghampirinya,dia pergi. Sejak saat itu
aku sering memperhatikannya. Suatu hari,aku melihatnya menangis dan matanya
terlihat sangat bengkak. Aku ingin menemuinya tapi aku tidak berani.
“Ava
gak butuh semua itu ! Ava butuh mama ! Ava butuh papa !” ucapnya. “Bahkan di
hari ulang tahun Ava pun mereka selalu sibuk ! Ava tidak penting ! begitukan bi
?” lanjutnya.
Seorang
perempuan paruh baya menghampirinya dan memeluknya. “Non Ava kan punya bibi
disini,sabar ya non” ucapnya penuh kelembutan.
“Ava
gak mau bibi ! Ava mau mama dan papa ! Ava gak mau semua mainan itu !”
teriaknya sambil menangis.
Perempuan
yang memeluknya pun menangis. “Mama dan papa non Ava kan bekerja mencari uang
untuk Ava,biar non Ava bisa sekolah,bisa makan,bisa main” tuturnya.
“Jadi
uang itu lebih penting dari Ava ya bi ?” ucap Ava sambil menangis.
“Bu..bukan
begitu non…”
“Ava
nakal ya bi mangkannya mama dan papa lebih peduli uang ?” tanya Ava.
“Non
Ava gak nakal. Non Ava itu anak baik” jelasnya.
“Ava
cape,Ava mau tidur ya bi” ucap Ava lalu meninggalkan perempuan itu sambil berlari.
Sejak saat itu aku mulai mengetahui beberapa hal tentangnya.
Aku memberikan jaketku
kepada Ava sebelum masuk ke rumahnya.
“Gak usah,mereka udah
terbiasa kok liat gue kayak gini” tolaknya.
Ketika sampai di
pintu,bibi menyambut kami dengan tatapan kaget. Aku hanya bisa menundukan
kepalaku dalam – dalam. Aku sudah siap jika bibi akan memarahiku atas apa yang
terjadi pada Ava.
“Nak Jerry,terima kasih
ya sudah nganter non Ava padahal ini masih jam kerja kan ?” ucapnya lembut.
“Eh ? bibi gak marah ?”
tanyaku.
“Untuk apa marah,ton
kalaupun bibi marah pun non Ava gak akan seperti semula lagi. Betul kan ? dan
bibi juga ngerti kok,ini bukan salah nak Jerry” jawabnya.
Kalian pasti bertanya –
tanya mengapa aku bisa menjemput Ava di sekolah. Fraya memberitahu ku lewat
telfon tadi siang. Dia meminta nomorku untuk alasan jaga – jaga kalau aku
berbuat macam – macam dengan Ava.
“Bi,boleh minta tolong
ambilkan perban dan obat merah ?” pintaku, bibi meng-iya-kan dan pergi
mengambilnya. “Sini,biar aku ganti perban kamu” ucapku pada Ava. Aku melihat
darah merembes dari perban yang iya gunakan tadi.
Aku membuka perbannya
perlahan2. Lukanya cukup panjang tapi tidak di jahit. Bibi membawakan perban
dan obat merah yang aku minta. Dia juga membawa kapas dan anti septik untuk
membersihkan lukanya.
“Biar saya aja bi”
ucapku.
“Oh ya sudah,bibi
tinggal kebelakang dulu ya nak Jerry” ucapnya lalu pergi meninggalkan kami.
Aku membersihkan darah
di sekeliling lukanya. Aku tau Ava menahan sakit di lengannya. Tanganku berada
di bawah tangan Ava untuk menahan lengannya. Aku dapat merasakan jari – jarinya
yang sedikit mencengkram lenganku ketika aku sedang membersihkan lukanya.
“Tahan sebentar ya Va”
ucapku yang ingin meneteskan obat merah di lukanya.
Ava menggangguk. Jari –
jarinya mencengkram lenganku dengan kuat sambil menggigit bibir bawahnya agak
tidak berteriak. Aku merasa Ava sangat cantik ketika seperti ini. Tanpa
sadar,aku terus meneteskan obat merah ke lukanya.
“Jer,lu mau bunuh gue ?
Sakit tau !” teriaknya yang menyadarkan lamunanku.
“Oh iya,maaf” aku
melihat bekas kuku di lenganku. Ava pun melihat bekasnya dan langsung menyengir
kearahku. Terkadang tingkahnya sangat lucu,tapi beban yang di tanggungnya
seakan menahannya untuk melakukan apa yang ia mau.
Ia menatapku sambil
memiringkan kepalanya. Mukaku terasa panas. Kenapa aku bisa segerogi ini ? Lebih
baik aku segra menutup lukanya dengan perban.
“Muka lu kenapa merah ?
lu takut darah ? kalo gitu kenapa…..”
“E-enggak kok” potongku.
Duh,kenapa aku jadi seperti ini. ‘Tenang
Jer,jangan panik’ batinku. “Udah nih,tadaa !” ucapku.
“Mm..makasih ya ! gue
mau ganti baju dulu” balasnya dan langsung berlari menuju kamarnya.
Ava
‘Kenapa
ini ?! kenapa dadaku terasa sesak. Rasanya jantungku ingin mencelus keluar’
batinku. Aku menyentuh wajahku yang terasa panas. Mungkin aku kelelahan saja.
Lagipula,mengapa Jerry bisa menatapku seperti itu sih ?! aku hampir terkena
serangan jantung rasanya.
Tapi melihatnya seperti
itu,aku jadi tidak heran mengapa dia menjadi idola para gadis. Bibir tipisnya
yang sedikit terbuka dan peluh membasahi rambut bagian depannya yang jatuh
tepat di keningnya. Tangan kekar yang ku cengkram hingga menimbulkan bekas kuku
disana. Benar – benar cowok idaman.
“Apa ? cowok idaman ?
ngomong apa aku ini ?!” gerutuku sambil melihat bayangan diriku di cermin besar
yang berada di kamarku. Aku segera mengganti pakaianku dan kembali menuju ke
ruangan tadi. Namun di tengah perjalanan,telfonku berdering dan tertera nomor
telfon yang tidak tercantum namanya.
“Halo ?” ucapku.
“Ava,ini
gue fraya. Gue kerumah lu sekarang juga ya !”
“Hah ? lu pake nomor
siapa ?” tanyaku.
“Oh…ini
nomornya Dave,gua gak punya pulsa. Kebetulan dia ada di sini,jadi gue pinjem
handphonenya” jawabnya. “Gue udah sampe di gerbang nih. Udah ya,bye
!” lanjutnya.
Aku memasukan handphone
ku ke saku celanaku dan duduk di sebelah Jerry. Dan betapa terkejutnya aku
melihat fraya saat ini.
TO BE CONTINUE ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar