Sabtu, 18 Juli 2015

ESCAPE

12

Kepalaku terasa sakit. ‘Pasti karena tadi !’  batinku. Aku memegang rambutku yang terasa lebih tipis. Aku ingin bangun dan memakai sepatuku. Jam menunjukan pukul 12 siang,berarti yang lainnya belum pulang. Pengurus UKS mengizinkanku keluar karena keadaanku sudah membaik. Aku sempat melirik lengan yang masih terasa nyeri dan seragamku yang robek serta ada noda darah yang mengering di seritarnya.
Aku mengintip kearah jendela dan melihat sekumpulan siswi berkumpul sambil membicarakan sesuatu. Ini memang masih jam istirahat,jadi keadaan di luar memang agak ramai. Aku melihat kearah yang sama dengan mereka. Mataku membulat sempurna rasanya ketika aku melihat Jerry yang sedang bicara dengan pak Andi. Aku keluar dari UKS sambil memegangi lenganku yang di perban. Jerry dan pak Andi menoleh kearahku. Kemudian mata jerry melihat luka di lengan kananku.
“Gimana Va ? udah mendingan ?” tanya pak Andy.
Aku mengangguk. Jerry kembali melayangkan pandangannya ke kepalaku. Rupanya dia menyadari rambutku yang lebih sedikit dari sebelummnya.
“Avaaa !!” teriak seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan dua orang aneh berlarian kearah ku. Siapa lagi kalau bukan Alvin dan Fraya. Di belakang mereka,aku melihat Dave yang ku ketahui adalah pacarnya Fraya sedang berjalan mengikutinya dan juga membawa tas miliku. Mungkin dia takut kalau pacarnya terlibat dalam masalah seperti tadi pagi. Tidak hanya mereka bertiga,Yuki pun ada dibelakang mereka dan berjalan di sebelah Dave.
Alvin menghambur sambil merentangkan tangannya,namun kerah bajunya di tarik oleh Fraya. “Gausah lebay Vin,sono lu ! ngeribetin aja,hahaha” ejek Fraya. Alvin cemberut mengengar ejekannya. “Nah,kayaknya korbannya udah bisa jalan” ledeknya kepada ku. Kemudian Fraya melambaikan tangan pada seseorang di belakangku. “Hai,ehh siapa namanya… oh iya,Jerry. Hahaha !”
Jerry tersenyum dan beberapa siswi yang berkumpul tadi sepertinya berteriak. Alvin memberikan sinyal kepadaku seperti bertanya siapa pria yang di teriaki siswi – siswi tadi. Aku tidak menjawabnya. Aku mengalihkan pandangan ke pak Andy dan Jerry.
Dave memberikan tasku kepada Jerry. Sepertinya pak Andy telah memberikan penjelasan kepada Jerry tentang apa yang terjadi tadi berdasarkan kesaksian kami bertiga. Pak Andi pergi ke ruangannya setelah pamit kepada kami.
***~***~***~***
Jerry Sandi

Melihatnya seperti itu,rasanya hatiku tersayat. Aku yang seharusnya bisa melindunginya. Aku tahu masa lalunya. Akulah anak laki – laki itu. Akulah yang sering melihatnya di taman belakang rumahnya. Aku tahu keluarganya. Karena itu aku mau bersamanya. Aku jatuh cinta padanya sejak lama. Bahkan akupun sering bolos dari kantorku hanya untuk mengawasimu tanpa diminta siapapun. Tapi sepertinya dia benar – benar melupakanku.

‘Sedang apa dia sendirian disana ?’ batinku. Sepertinya dia lebih muda dariku. Aku ingin mengajaknya bicara. Namun ketika aku menghampirinya,dia pergi. Sejak saat itu aku sering memperhatikannya. Suatu hari,aku melihatnya menangis dan matanya terlihat sangat bengkak. Aku ingin menemuinya tapi aku tidak berani.
“Ava gak butuh semua itu ! Ava butuh mama ! Ava butuh papa !” ucapnya. “Bahkan di hari ulang tahun Ava pun mereka selalu sibuk ! Ava tidak penting ! begitukan bi ?” lanjutnya.
Seorang perempuan paruh baya menghampirinya dan memeluknya. “Non Ava kan punya bibi disini,sabar ya non” ucapnya penuh kelembutan.
“Ava gak mau bibi ! Ava mau mama dan papa ! Ava gak mau semua mainan itu !” teriaknya sambil menangis.
Perempuan yang memeluknya pun menangis. “Mama dan papa non Ava kan bekerja mencari uang untuk Ava,biar non Ava bisa sekolah,bisa makan,bisa main” tuturnya.
“Jadi uang itu lebih penting dari Ava ya bi ?” ucap Ava sambil menangis.
“Bu..bukan begitu non…”
“Ava nakal ya bi mangkannya mama dan papa lebih peduli uang ?” tanya Ava.
“Non Ava gak nakal. Non Ava itu anak baik” jelasnya.
“Ava cape,Ava mau tidur ya bi” ucap Ava lalu meninggalkan perempuan itu sambil berlari. Sejak saat itu aku mulai mengetahui beberapa hal tentangnya.

Aku memberikan jaketku kepada Ava sebelum masuk ke rumahnya.
“Gak usah,mereka udah terbiasa kok liat gue kayak gini” tolaknya.
Ketika sampai di pintu,bibi menyambut kami dengan tatapan kaget. Aku hanya bisa menundukan kepalaku dalam – dalam. Aku sudah siap jika bibi akan memarahiku atas apa yang terjadi pada Ava.
“Nak Jerry,terima kasih ya sudah nganter non Ava padahal ini masih jam kerja kan ?” ucapnya lembut.
“Eh ? bibi gak marah ?” tanyaku.
“Untuk apa marah,ton kalaupun bibi marah pun non Ava gak akan seperti semula lagi. Betul kan ? dan bibi juga ngerti kok,ini bukan salah nak Jerry” jawabnya.
Kalian pasti bertanya – tanya mengapa aku bisa menjemput Ava di sekolah. Fraya memberitahu ku lewat telfon tadi siang. Dia meminta nomorku untuk alasan jaga – jaga kalau aku berbuat macam – macam dengan Ava.
“Bi,boleh minta tolong ambilkan perban dan obat merah ?” pintaku, bibi meng-iya-kan dan pergi mengambilnya. “Sini,biar aku ganti perban kamu” ucapku pada Ava. Aku melihat darah merembes dari perban yang iya gunakan tadi.
Aku membuka perbannya perlahan2. Lukanya cukup panjang tapi tidak di jahit. Bibi membawakan perban dan obat merah yang aku minta. Dia juga membawa kapas dan anti septik untuk membersihkan lukanya.
“Biar saya aja bi” ucapku.
“Oh ya sudah,bibi tinggal kebelakang dulu ya nak Jerry” ucapnya lalu pergi meninggalkan kami.
Aku membersihkan darah di sekeliling lukanya. Aku tau Ava menahan sakit di lengannya. Tanganku berada di bawah tangan Ava untuk menahan lengannya. Aku dapat merasakan jari – jarinya yang sedikit mencengkram lenganku ketika aku sedang membersihkan lukanya.
“Tahan sebentar ya Va” ucapku yang ingin meneteskan obat merah di lukanya.
Ava menggangguk. Jari – jarinya mencengkram lenganku dengan kuat sambil menggigit bibir bawahnya agak tidak berteriak. Aku merasa Ava sangat cantik ketika seperti ini. Tanpa sadar,aku terus meneteskan obat merah ke lukanya.
“Jer,lu mau bunuh gue ? Sakit tau !” teriaknya yang menyadarkan lamunanku.
“Oh iya,maaf” aku melihat bekas kuku di lenganku. Ava pun melihat bekasnya dan langsung menyengir kearahku. Terkadang tingkahnya sangat lucu,tapi beban yang di tanggungnya seakan menahannya untuk melakukan apa yang ia mau.
Ia menatapku sambil memiringkan kepalanya. Mukaku terasa panas. Kenapa aku bisa segerogi ini ? Lebih baik aku segra menutup lukanya dengan perban.
“Muka lu kenapa merah ? lu takut darah ? kalo gitu kenapa…..”
“E-enggak kok” potongku. Duh,kenapa aku jadi seperti ini. ‘Tenang Jer,jangan panik’ batinku. “Udah nih,tadaa !” ucapku.
“Mm..makasih ya ! gue mau ganti baju dulu” balasnya dan langsung berlari menuju kamarnya.

Ava

‘Kenapa ini ?! kenapa dadaku terasa sesak. Rasanya jantungku ingin mencelus keluar’ batinku. Aku menyentuh wajahku yang terasa panas. Mungkin aku kelelahan saja. Lagipula,mengapa Jerry bisa menatapku seperti itu sih ?! aku hampir terkena serangan jantung rasanya.
Tapi melihatnya seperti itu,aku jadi tidak heran mengapa dia menjadi idola para gadis. Bibir tipisnya yang sedikit terbuka dan peluh membasahi rambut bagian depannya yang jatuh tepat di keningnya. Tangan kekar yang ku cengkram hingga menimbulkan bekas kuku disana. Benar – benar cowok idaman.
“Apa ? cowok idaman ? ngomong apa aku ini ?!” gerutuku sambil melihat bayangan diriku di cermin besar yang berada di kamarku. Aku segera mengganti pakaianku dan kembali menuju ke ruangan tadi. Namun di tengah perjalanan,telfonku berdering dan tertera nomor telfon yang tidak tercantum namanya.
“Halo ?” ucapku.
“Ava,ini gue fraya. Gue kerumah lu sekarang juga ya !”
“Hah ? lu pake nomor siapa ?” tanyaku.
“Oh…ini nomornya Dave,gua gak punya pulsa. Kebetulan dia ada di sini,jadi gue pinjem handphonenya” jawabnya. “Gue udah sampe di gerbang nih. Udah ya,bye !” lanjutnya.
Aku memasukan handphone ku ke saku celanaku dan duduk di sebelah Jerry. Dan betapa terkejutnya aku melihat fraya saat ini.



TO BE CONTINUE ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar